Selasa, 14 Oktober 2008

Hukum Memotong Jenggot Sampai Habis atau Sebagian

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah menjelaskan:
Orang yang mencukur jenggotnya sampai habis tergolong orang yang fasiq, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
احْفُوا الشَّوَارِبَ وَأعْفُوا اللِّحَى
“Potonglah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian.”
dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pula:
وَفِّرُوا اللِّحَى
“Biarkanlah jenggot kalian menjadi banyak.”
Juga:
أَكْرِمُوا اللِّحَى
“Muliakanlah jenggot kalian.”
Juga:
ارْخُوا اللِّحَى
“Panjangkan jenggot kalian.”
Juga:
قَصُّوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Potonglah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian.”
Banyak sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot, dan tidak pernah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mencukur habis jenggotnya, bahkan jenggot beliau menutupi dada beliau. Dan tidak didapatkan pula adanya riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang muslim yang mencukur jenggotnya lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyetujuinya. Bahkan mencukur jenggot tergolong perbuatan tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Islam dan perbuatan tasyabbuh (menyerupai) wanita.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk menjaga penampilan Islami di mana pun dia berada, sehingga dia tidak kehilangan jati diri muslim sebagaimana orang lain kehilangan jati diri muslimnya. Wallahul musta’an.
Jenggot merupakan perhiasan bagi seorang lelaki. Meskipun engkau melihat adanya sebagian orang alim yang fasiq memotongnya, ini bukanlah suatu hujjah. Juga meskipun engkau melihat di antara para raja dan pimpinan yang memotong jenggotnya, ini bukanlah hujjah. Yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila engkau melihat orang-orang alim yang memotong jenggot mereka atau para raja dan pimpinan, niscaya engkau dapati mereka terpengaruh oleh musuh-musuh Islam. Sama saja mereka terpengaruh dengan belajar kepada musuh-musuh Islam ataupun belajar kepada orang yang belajar kepada musuh-musuh Islam, ataupun terpengaruh oleh orang yang terpengaruh musuh-musuh Islam. Tidak boleh bagi seorang pun untuk mengambil teladan dari salah seorang dari mereka, bahkan As Sunnah yang wajib untuk diikuti.
Demikian pula memotong sebagian jenggot dan membiarkan sebagiannya, ini juga tidak diperbolehkan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أعفوا, maknanya adalah biarkanlah sebagaimana diciptakan Allah. Juga sabda beliau وَفِّرُوا, dan ارخوا.
Adapun riwayat dari Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma bahwa bila melaksanakan haji atau umrah beliau radhiallahu 'anhuma mengambil (memotong) jenggot yang melebihi ukuran genggaman tangan, ini bukanlah hujjah, karena yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bila engkau katakan: Terkadang saya diperintah untuk memotong jenggot karena saya seorang tentara? Jawabannya: Tidak boleh bagimu untuk menaati perintah itu, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan tersebut dalam hal yang baik.”
kecuali bila engkau khawatir akan disiksa dengan siksaan yang tidak bisa engkau pikul, wallahul musta’an.
Bila engkau katakan: Terkadang saya masuk ke suatu negeri atau saya kembali ke negeri saya, sedangkan penduduk negeri tersebut memaksa dan memasukkan setiap orang yang memelihara jenggotnya ke dalam penjara, dan juga dikhawatirkan akan dibunuh.
Maka bila engkau takut bahwa dirimu akan disiksa, atau diambil hartamu, atau kehormatanmu dengan sesuatu yang tidak bisa engkau pikul, maka diperbolehkan bagimu untuk memotong jenggot. Adapun tanpa ada sesuatu lalu engkau memotong jenggot dan menyerupai musuh-musuh Islam, atau hanya karena mengikuti perintah orang-orang yang menyimpang maka tidak boleh bagimu (untuk memotong jenggot), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam hal yang baik.”
Betapa banyak orang shalih yang pergi ke negeri musuh-musuh Islam dimana mereka (musuh-musuh Islam) melihat orang-orang shalih yang berpegang teguh dengan agama secara benar, justru musuh-musuh Islam itu mencintai orang-orang shalih tersebut, memuliakan mereka, mempercayai keamanahan mereka. Adapun jenggot, maka tidaklah jenggot itu yang bersalah (yang menyebabkan kebencian orang-orang kafir membenci Islam). Bila engkau lihat seorang yang memelihara jenggotnya pendusta, atau berkhianat, atau mencuri, maka yang salah bukanlah jenggotnya namun orangnya. Adapun jenggot termasuk sifat yang fithrah dan termasuk Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang beliau perintahkan dan beliau wajibkan. Saya maksudkan keterangan ini agar tidak menjadi alasan bagimu untuk mencukur jenggot bila engkau melihat di antara orang yang memelihara jenggot ada yang tidak istiqamah atau tidak amanah. Wallahul musta’an.
(diterjemahkan dari Ijabatus Sail, hal. 221-222)

Diedit oleh: Aan Sulistyo

Dikutip dari: www.asysyariah.com

Perbedaan Mani, Wadi dan Madzi

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, mungkin sebagian di antara kita merasa asing dengan kata-kata yang terdapat pada judul di atas. Insya Allah kita semua telah paham mengenai mani. Namun, apa itu madzi ? dan apapula itu wadi ? Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya mari kita simak bersama pembahasan mengenai ketiga hal ini beserta hukumnya masing-masing

Mani

Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar memancar dari kemaluan, biasanya keluarnya cairan ini diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Mani dapat keluar dalam keadaan sadar (seperti karena berhubungan suami-istri) ataupun dalam keadaan tidur (biasa dikenal dengan sebutan “mimpi basah”). Keluarnya mani menyebabkan seseorang harus mandi besar / mandi junub. Hukum air mani adalah suci dan tidak najis ( berdasarkan pendapat yang terkuat). Apabila pakaian seseorang terkena air mani, maka disunnahkan untuk mencuci pakaian tersebut jika air maninya masih dalam keadaan basah. Adapun apabila air mani telah mengering, maka cukup dengan mengeriknya saja. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah, beliau berkata “Saya pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada pakaian Rasulullah dengan kuku saya.” (HR. Muslim)

Wadi

Wadi adalah air putih kental yang keluar dari kemaluan seseorang setelah kencing. Keluarnya air wadi dapat membatalkan wudhu. Wadi termasuk hal yang najis. Cara membersihkan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, kemudian berwudhu jika hendak sholat. Apabila wadi terkena badan, maka cara membersihkannya adalah dengan dicuci.

Madzi

Madzi adalah air yang keluar dari kemaluan, air ini bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ (hubungan seksual) atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (biasa diistilahkan dengan foreplay/pemanasan). Air madzi keluar dengan tidak memancar. Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa disadari (tidak terasa). Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Sebagaimana air wadi, hukum air madzi adalah najis. Apabila air madzi terkena pada tubuh, maka wajib mencuci tubuh yang terkena air madzi, adapun apabila air ini terkena pakaian, maka cukup dengan memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah terhadap seseorang yang pakaiannya terkena madzi, “cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan). Keluarnya air madzi membatalkan wudhu. Apabila air madzi keluar dari kemaluan seseorang, maka ia wajib mencuci kemaluannya dan berwudhu apabila hendak sholat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah.” (HR. Bukhari Muslim)

Demikian yang dapat kami sampaikan dalam pembahasan kali ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Terakhir, kami tutup dengan firman Allah yang artinya, “Allah tidaklah malu dalam menjelaskan hal yang benar.” (QS. Al Ahzab: 53)

Penulis: Abu ‘Uzair Boris Tanesia
Diedit oleh : Aan Sulistyo

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/mengenal-mani-wadi-dan-madzi.html

Sholat Awwabin

Benarkah istilah shalat awwabin untuk penamaan shalat antara maghrib dan isya' ?. Ternyata hal ini tidak benar karena istilah awwabin yang benar itu untuk shalat dhuha. Hal ini berdasarkan sabda nabi : "Shalatnya orang-orang awwabin (yang sering bertaubat kepada Allah) adalah ketika anak unta merasa kepanasan" (HR. Muslim : 848)

Demikian pulah sabda nabi : "Tidak ada yang menjaga shalat dhuha kecuali orang awwab (sering bertaubat). Rasulullah bersabda: "Itu adalah shalatnya orang-orang yang sering bertaubat" (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya: 1224, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/313 Ath Thabarani dalam Al-Ausath: 4322. Disahihkan Al Hakim dan disepakati Adz-Dzahabi. Dan dihasankan Al-Albani dalam silsilah Ash-Shahihah no. 707).

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam Shahih Tarhib 1/423: "Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang menamakan shalat enam rakaat setelah maghrib dengan istilah "shalat awwabin" karena penamaan ini tidak ada asalnya".

Adapun shalat sunnah antara maghrib dan isya' secara mutlak tanpa batasan jumlah rakaat tertentu adalah sunnah berdasarkan dalil berikut :

"Dari Hudzaifah bin Yaman berkata:"Sya pernah datang kepada nabi dan shalat maghrib bersamanya. Tatkala selesai shalat, beliau terus menjalankan shalat hingga isya' kemudia keluar" (shahih. Diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya: 1194, Tirmidzi: 3781, Nasa'i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 3/31 dan Ahmad 5/404. Al Mundziri berkata : " Sanadnya Jayyid" dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Targhib wa Tarhib 1/382).

Imam Ibnu Khuzaimah membuat bab hadits ini "Keutamaan shalat sunnah antara Maghrib dan isya'"
Imam Al-Mundziri juga membuat bab "Anjuran shalat antara maghrib dan isya".

Dalil kedua : "dari Anas bin Malik tentang ayat: "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya" (As-sajdah: 16) diturunkan dalam masalah menunggu shalat isya'" Riwayat Tirmidzi:3412 dan berkata : "Hadits ini hasan shahih gharib". Dan diriwayatkan pula oleh Abu Daud: 1321 dengan lafadz:

"Mereka (para sahabat) melakukan shalat sunnah antara maghrib dan isya'"

Imam Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya 3/505 ketika menafsirkan ayat di atas: "Dan dari Anas, Ikrimah, Muhammad bin Mukandar, Abu Hazim dan Qotadah (mereka menafsirkan) yaitu shalat antara maghrib dengan isya'. Dan dari Anas pula, dia menafsirkan dengan menunggu shalat isya' sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir sanad Jayyid"

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu haduitspun yang menerangkan bilangan rakkat tertentu serta keutamaanya, semuanya berderajat sangat lemah sekali seperti hadits "
"Barangsiapa shalat setelah maghrib enam rakaat, dia tidak berbicara kejelekan antara keduanya, maka disebandingkan baginya ibadah dua belas tahun"

Shaik Muhammad Nashiruddin al-albani berkata dalam silsilah Ahadits Adh-Dha'ifah 1/681: "Ketahuilah bahwa seluruh hadits yang menjelaskan tentang jumlah rakaat tertentu dalam shalat antara maghrib dan isya' adalah tidak shahih, sebagiannya lebih parah daripada sebagian lainnya. Hanya saja shalat pada waktu tersebut telah shahih dari perbuatan nabi tanpa penentuan jumlah rakaat tertentu. Adapaun dari ucapan nabi maka setiap riwayatnya sangat parah sekali, tidak boleh beramal dengannya." (Lihat pula Dhaif Targhib wa Tarhib 1/171-172)

Kesimpulan :

1.Istilah shalat awwabin bukan untuk shalat antara maghrib dan isya', tetapi untuk shalat dhuha.
2. Shalat sunnah antara maghrib dan isya' hukumnya sunnah berdasarkan perbuatan nabi dan sahabat.
3. Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan dan bilangan rakaat tertentu dalam shalat antara maghrib dan isya' tidak ada yang shahih.

Disalin dari :Majalah Al-Furqan edisi 7 th III//Shofar 1425