Rabu, 17 Agustus 2011

Perang Badr Kubro Bagian I

Perang Badr Al Kubra
Penulis Al Ustadz Abu Muhammd Harits Abrar
Sebab-sebab PertempuranPada bulan Ramadhan tahun ke-2 hijrah sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa kafilah dagang orang2 kafir Quraisy bertolak dari negeri Syam yg dipimpin oleh Abu Sufyan bersama sekitar 40 orang laki-laki. Kafilah tersebut membawa harta benda hartawan Quraisy yg cukup besar. mk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajak kaum muslimin utk berangkat mencegat kafilah tersebut.Berangkatlah sekitar 300 orang lbh menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pasukan ini terdiri dari dua ekor kuda milik Az-Zubair bin Al-'Awwam dan Miqdad bin Al-Aswad Al-Kindi dan 70 ekor unta yg dikendarai oleh dua atau tiga orang secara bergantian. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri mengendarai unta bersama 'Ali dan Martsad bin Abil Martsad Al-Ghanawi.
Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu meriwayatkan: Kami pada peristiwa Badr tiap tiga orang bergantian mengendarai seekor unta. Abu Lubabah dan 'Ali bin Abi Thalib bergantian dgn Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada keadaan mereka ini kedua berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam "Kami berjalan kaki saja ." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:
ماَ أَنْتُماَ بِأَقْوَى مِنِّي وَلاَ أَناَ بِأَغْنَى عَنِ اْلأَجْرِ مِنْكُماَ
"Kalian berdua tidaklah lbh kuat daripada saya. Dan saya juga tidaklah merasa lbh cukup pahala dari kalian berdua."Abu Bakr 'Umar dan 'Abdurrahman bin 'Auf bergantian pula.Sementara di Madinah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat Ibnu Ummi Maktum radhiallahu 'anhu utk menjadi imam shalat menggantikan beliau. Sesampai di Rauha' beliau mengangkat Lubabah bin 'Abdilmundzir memimpin kota Madinah. Bendera beliau serahkan kepada Mush'ab bin 'Umair yg lain kepada 'Ali dan Sa'd bin Mu'adz radhiallahu 'anhum.Ketika Abu Sufyan dan kafilah dagang Quraisy mendekati daerah Hijaz dia mengirim mata-mata utk mencari berita. Akhir mereka mendapat kabar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerahkan kaum muslimin utk menghadang kafilah dagang Quraisy yg baru pulang dari Syam. Mendengar hal ini Abu Sufyan segera mengutus Dhamdham bin 'Amr Al-Ghifari ke Makkah agar memberitahukan orang2 supaya bersiap-siap membela kafilah dagang mereka.Ibnu Ishaq menceritakan bahwa 'Atikah binti 'Abdil Muththalib tiga hari sebelum Dhamdham tiba di Makkah bermimpi sangat mengerikan seolah-olah dia melihat kebinasaan bangsa Quraisy. Berita mimpi itu terdengar oleh masyarakat Quraisy. Mereka semakin memojokkan Bani 'Abdil Muththalib bahkan para wanita demikian juga. Kata mereka "Wahai Bani 'Abdil Muththalib apa masih kurang ada laki2 yg mengaku Nabi di kalangan kalian sekarang yg perempuan juga mengaku Nabi?"'Abbas berta "Apa persoalannya?"Abu Jahal ketika itu mengatakan "Mimpi yg dilihat Atikah. Kalau mimpi itu dusta kami akan buat satu ketetapan bahwa kalian Bani 'Abdil Muththalib adl keluarga yg paling hebat kedustaannya."Ternyata tiga hari kemudian datanglah Dhamdham. Dia berteriak di atas unta yg telah dilukai sebagian tubuh merobek bajunya: "Wahai bangsa Quraisy celaka. Harta benda kalian yg ada bersama Abu Sufyan dihadang oleh Muhammad dan shahabat-shahabatnya. Selamatkanlah!"Mereka dgn segera bersiap. Yang tdk ikut mewakilkan kepada orang lain. Dan masyarakat Quraisy menganggap aib jika ada pembesar atau pemuka mereka yg tertinggal. Akhir tdk ada yg tertinggal di kalangan mereka kecuali Abu Lahab krn dia mewakilkan kepada Al-'Ash bin Hasyim bin Al-Mughirah.Mula Umayyah bin Khalaf ingin tinggal bersama beberapa orang tetapi datanglah 'Uqbah bin Abi Mu'ith membawa pedupaan dan berkata. "Wahai Abu 'Ali silakan gunakan pedupaan ini krn kamu itu perempuan."
'Umayyah dgn berang membentak "Semoga Allah memburukkan mukamu dan memburukkan apa yg kau bawa." Akhir diapun berangkat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempersiapkan pasukanRasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai bergerak dan setiba di satu tempat beliau mengirim Bisbas bin 'Amr dan Abu Zaghba mencari berita tentang Abu Sufyan dan kafilah Quraisy. Mereka tiba di Badr dan mendengar berita bahwa esok hari kafilah akan tiba di Badr. Kemudian mereka sampaikan berita itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.Abu Sufyan tiba di daerah tersebut. Ketika dilaporkan ada dua orang yg tiba di sana Abu Sufyan minta diambilkan sebagian kotoran hewan mereka. Ketika dilihat ada biji-biji kurma dia segera tahu bahwa mereka dari Madinah dan tentu sedang mencari berita tentang keadaannya. Serta merta dia bangkit dan membelokkan arah kendaraan menjauh dari daerah Badr.Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tiba di Badr. Beliau mendengar berita bahwa orang2 Quraisy telah menyiapkan pasukan menghadapi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin demi membela harta benda mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajak para sahabat bermusyawarah.Abu Bakr dan 'Umar mulai mengeluarkan pendapat mereka dgn baik. Kemudian Miqdad mulai berbicara "Wahai Rasulullah agak kami yg engkau maksudkan. Berangkatlah menurut apa yg diperlihatkan Allah kepadamu. mk kami akan bersamamu. Kami tdk akan berkata seperti orang2 Bani Israil berkata kepada Musa 'alaihissalam: 'Pergilah engkau bersama Rabbmu biar kami duduk menunggu di sini.' Tapi berangkatlah engkau dan Rabbmu berperang dan kami bersama engkau berperang di sebelah kanan dan kirimu di belakang dan di depanmu. Demi Dzat Yang mengutusmu membawa al-haq seandai engkau membawa kami sampai ke Barkil Ghamad niscaya kami tetap bersamamu."Beliau hanya mengatakan baik dan berdoa untuknya. Kemudian beliau masih meminta buah pikiran para shahabat "Wahai manusia keluarkanlah pendapat kalian." Dan yg beliau maksud adl orang2 Anshar krn mereka telah berjanji dan bersumpah setia kepada beliau di 'Aqabah. Dan beliau khawatir mereka hanya akan membela di tempat tinggal mereka sebagaimana janji dan sumpah mereka.Melihat hal ini Sa'd bin Mu'adz menegaskan "Demi Allah seakan-akan engkau maksudkan kami wahai Rasulullah?""Betul" kata beliau."Kami telah beriman dan membenarkan engkau dan telah kami saksikan bahwa apa yg engkau bawa adl haq. Dan utk itu kami telah serahkan janji dan sumpah setia kami kepadamu agar tetap mendengar dan mentaatimu. mk berangkatlah ya Rasulullah kepada apa yg engkau mau niscaya kami tetap bersamamu. Demi Dzat Yang mengutusmu membawa al-haq. Andaikata engaku membawa kami menyelami lautan niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tdk akan ada seorangpun tertinggal di antara kami. Kami tdk benci bertemu musuh esok hari. Kami adl orang2 yg jujur dan tabah dlm peperangan. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu apa yg menyenangkan hatimu dari kami. Berangkatlah dgn berkah Allah ya Rasulullah."Mendengar ucapan Sa'd ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat gembira dan bersemangat. Beliau berkata "Gembiralah kalian. Sesungguh Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok itu . Demi Allah seolah-olah saya melihat tempat kematian mereka." Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan riwayat ini mempunyai beberapa syawahid di antara diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari.Akhir Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama para sahabat meneruskan perjalanan sampai di Badr.Setiba di Badr pasukan muslimin menangkap pencari air bagi orang2 Quraisy dan memaksa memberitahukan di mana Abu Sufyan dan rombongan. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat. Kalau dia dita di mana Abu Sufyan dia menjawab tdk tahu tapi ini ada Abu Jahl bersama pasukan Quraisy. Ketika menerangkan hal itu dia dipukuli. Tatkala dipukuli dia justru mengatakan ya aku dari Abu Sufyan.Setelah selesai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendekati dan berkata kepada para shahabat "Kalau dia jujur dlm pengakuan mk kalian pukuli. Dan kalau dia berdusta kalian lepaskan dia."Kemudian beliau menyebutkan satu persatu tempat terbunuh si Fulan si Fulan dan beberapa tokoh Quraisy lain . Seperti ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari jalan Abu Bakr dari 'Affan.Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan bahwa budak tadi memang dari rombongan Quraisy. Kemudian beliau berta tentang jumlah pasukan. Budak tadi mengatakan tdk tahu pasti. Lalu beliau berta berapa ekor unta yg mereka sembelih tiap hari. Budak itu menjawab sembilan sampai sepuluh ekor. Berdasarkan keterangan ini Rasulullah r memperkirakan bahwa jumlah pasukan Quraisy antara 900 sampai 1000 orang.
Setelah itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan pula siapa saja tokoh Quraisy yg ikut dlm pasukan tersebut. Budak tadi menyebutkan beberapa nama di antara Abul Bakhtari bin Hisyam Hakim bin Hizam Umayyah bin Khalaf 'Utbah bin Rabi'ah dan Syaibah bin Rabi'ah Abu Jahl dan lain-lain. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam segera mengatakan "Gembiralah kalian. Inilah Makkah telah menyodorkan jantung hati kepada kalian."
Kafilah Abu Sufyan selamatSetelah melihat rombongan kafilah yg dipimpin selamat dari kejaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat Abu Sufyan mengutus orang utk menyampaikan kepada pasukan Quraisy yg dipimpin Abu Jahl agar kembali saja ke Makkah. Tetapi Abu Jahl dgn sombong menolak dan berkata "Demi Allah kita tdk akan kembali sampai tiba di Badr. Kita akan tinggal di sana tiga hari menyembelih ternak yg kita bawa makan dan minum khamr serta dihibur oleh para biduan kita. Agar orang2 'Arab tahu keadaan kita dan tetap gentar kepada kita."Ternyata tdk semua rombongan setuju. Di antara Bani Zuhrah ada yg menukas "Hai Bani Zuhrah. Harta kalian sudah diselamatkan Allah. Tidak ada lagi kepentingan kalian di sini mk pulanglah." Akhir tdk ada seorangpun dari Bani Zuhrah yg ikut dlm pasukan tersebut.Dan sebetul tdk pula semua kabilah Quraisy yg ikut serta dlm rombongan itu. Bani 'Adi sama sekali tdk ada seorang pun yg ikut serta dlm pasukan yg dipimpin Abu Jahl itu.Ibnu Ishaq menceritakan bahwa kemudian pasukan yg dipimpin Abu Jahl melanjutkan perjalanan hingga di pinggir lembah yg jauh di belakang 'Aqanqal. Sedangkan perut lembah dgn sumur Badr berada di pinggir terdekat dgn Madinah.
Kata Ibnu Katsir rahimahullah sehubungan hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِذْ أَنْتُمْ بِالْعُدْوَةِ الدُّنْياَ وَهُمْ بِالْعُدْوَةِ الْقُصْوَى وَالرَّكْبُ أَسْفَلَ مِنْكُمْ
" ketika kamu berada di pinggir lembah yg dekat dan mereka berada di pinggir lembah yg jauh sedang kafilah itu berada di bawah kamu.."
Yakni di sebelah pantai. Kemudian:
وَلَوْ تَوَاعَدْتُمْ لاخْتَلَفْتُمْ فِي الْمِيْعاَدِ وَلَكْنْ لِيَقْضِيَ اللهُ أَمْرًا كاَنَ مَفْعُوْلاً لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْياَ مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ وَإِنَّ اللهَ لَسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
"Sekira kamu mengadakan persetujuan pastilah kamu tdk sependapat dlm menentukan hari pertempuran itu akan tetapi agar Dia melakukan suatu urusan yg mesti dilaksanakan yaitu agar orang yg binasa itu binasa dgn keterangan yg nyata dan agar orang yg hidup itu hidup dgn keterangan yg nyata . Sesungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan hujan membasahi bumi di bawah tapak kaki Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat sehingga tanah mengeras dan memantapkan mereka utk bergerak. Sementara orang2 Quraisy yg ditimpa hujan justeru menghambat gerak mereka.
Tentang hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِذْ يُغَشِّيْكُمُ النُّعاَسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمآءِ مآءً لِيُطُهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطاَنِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوْبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ اْلأَقْداَمِ
" ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya. Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit utk menyucikan kamu dgn hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan utk menguatkan hatimu dan memperteguh dengan telapak kaki ."Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala tegaskan bahwa Dia mensucikan mereka lahir batin memantapkan kedudukan mereka membangkitkan keberanian dlm hati mereka dan melenyapkan was-was dan rasa takut yg dihembuskan oleh syaithan.Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai bergerak mendahului orang2 Quraisy dan tiba di daerah yg terdekat dgn air di Badr.
Merekapun beranjak ke tempat yg ditentukan. Ibnu Ishaq menceritakan pula bahwa Sa'd bin Mu'adz mengusulkan "Ya Rasulullah bagaimana kalau kami buatkan tenda untukmu dan kami siapkan kendaraan. Kalau Allah muliakan kita dan memenangkan kita atas mereka mk itulah yg kita harapkan. Dan kalau tdk biar Rasulullah menyusul orang2 yg tertinggal. Tidaklah kami merasa lbh hebat mencintaimu dibandingkan mereka. Dan mereka tertinggal krn mereka menyangka bahwa engkau akan menghadang kafilah dagang bukan utk bertempur. Seandai mereka tahu engkau akan bertempur niscaya mereka tdk akan tertinggal."
Sumber            : www.asysyariah.com
Edited by        : Aan Sulistyo

Kamis, 05 Mei 2011

Cara Pacaran Menurut Pandangan Islam

Tips tips pacaran yang islami, untuk temen- temen muslim, berikut ada tips tips pacaran islami, atau bisa disebut pacaran menurut islam,hehe ikuti tips tips pacaran islami agar selamat dunia akhirat,
Langsung saja kita menuju Tips- tips pacaran yang islami sera pacaran menurut pandangan islam: :hmm:
Tips tips pacaran islami menurut pandangan islam:
1. Jangan berduaan dengan pacar di tempat sepi, kecuali ditemani mahram dari sang wanita (jadi bertiga)
“Janganlah seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya…”[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341, Lihat Mausu’ah Al Manahi Asy Syari’ah 2/102]
“Tidaklah seorang lelaki bersepi-sepian (berduaan) dengan seorang perempuan melainkan setan yang ketiganya“ (HSR.Tirmidzi)

Tips tips pacaran islami menurut pandangan islam:
2. Jangan pergi dengan pacar lebih dari sehari semalam kecuali si wanita ditemani mahramnya
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sehari semalam tidak bersama mahromnya.” [HR Bukhori: 1088, Muslim 1339]

Tips tips pacaran islami menurut pandangan islam:
3. Jangan berjalan-jalan dengan pacar ke tempat yang jauh kecuali si wanita ditemani mahramnya
“…..jangan bepergian dengan wanita kecuali bersama mahromnya….”[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341]

Tips tips pacaran islami menurut pandangan islam:
4. Jangan bersentuhan dengan pacar, jangan berpelukan, jangan meraba, jangan mencium, bahkan berjabat tangan juga tidak boleh, apalagi yang lebih dari sekedar jabat tangan
”Seandainya kepala seseorang di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadits hasan riwayat Thobroni dalam Al-Mu’jam Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam Musnad: 1283, lihat Ash Shohihah 1/447/226)
Bersabda Rasulullahi Shallallahu ‘alaihi wassallam: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR Malik 2/982, Nasa’i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, dll]

Tips tips pacaran islami menurut pandangan islam:
5. Jangan memandang aurat pacar, masing-masing harus memakai pakaian yang menutupi auratnya
“Katakanlah kepada orang-orang beriman laki-laki hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya..” (Al Qur’an Surat An Nur ayat 30)
“…zina kedua matanya adalah memandang….” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)

Tips tips pacaran islami menurut pandangan islam:
6. Jangan membicarakan/melakukan hal-hal yang membuat terjerumus kedalam zina
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang jelek” (Al Qur’an Surat Al Isra 32)
“Kedua tangan berzina dan zinanya adalah meraba, kedua kaki berzina dan zinanya adalah melangkah, dan mulut berzina dan zinanya adalah mencium.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)

Tips tips pacaran islami menurut pandangan islam:
7. Jangan menunda-nunda menikah jika sudah saling merasa cocok
“Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
“Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke-dalam neraka adalah mulut dan kemaluan.” (H.R. Turmudzi dan dia berkata hadits ini shahih.)
WARNING:
sebenarnya banyak ulama dan ustadz yang mengharamkan pacaran, misalnya saja ustadz Muhammad Umar as Sewed. jadi sebaiknya segera menikahlah dan jangan berpacaran…

Heheheheheh Gak susah kan gan tips tips pacaran islami diatas??kita(khususnya orang orang muslim) hendaknya mengikuti tatanan hidup mengenai pacaran (tips tips pacaran islami) , agar jangan sampai kita terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan, maka segeralah bertaubat jika teman2 masih belum mengikuti tips tips pacaran yang islami atau juga pacaran menurut pandangan islam seperti yang tertera diatas. 

Rabu, 27 April 2011

MANHAJ AHLI SUNNAH TERHADAP PENGUASA

Oleh: Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin

TUGAS NEGARA DAN PENGUASA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, dan bahkan untuk kepentingan di dunia dan akhirat. Maka sistim politik Islam, khususnya tentang kepemimpinan, merupakan amanat dari Allah untuk melaksanakan aturan, undang-undang dan syari’at Islam. 


Jadi kepemimpinan dalam Islam merupakan bentuk aktifitas politik, yang bertujuan untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Oleh karena itu, pemimpin yang dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan syari’at dan menerapkan hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih kedamaian, penguasa dan rakyat memperoleh hak-hak secara adil, serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kondisi yang tenteram dan makmur. 


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan: Tujuan pokok kepemimpinan, ialah memperbaiki agama umat. Sebab, jika jauh dari Dinul Islam, (maka) bangsa akan hancur, nasib rakyat akan terlantar dan nikmat-nikmat dunia yang mereka miliki akan sia-sia. Pemimpin juga bertugas memperbaiki segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan agama, meliputi dua macam: 

Pertama, membagikan harta kekayaan secara merata dan adil kepada yang berhak. Kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang tanpa diskriminasi.
Prof. Dr. Salim bin Ghanim As Sadlan berkata,”Salah satu kewajiban dan wewenang pemimpin dalam agama Islam, yaitu melaksanakan hukuman setelah diproses secara syar’i oleh mahkamah agung atas terdakwa pelaku kejahatan yang berhak mendapat hukuman.” 



DEKAT DENGAN PENGUASA BUKAN BERARTI MENJILAT

Seorang muslim harus melakukan hubungan baik dengan para Ulil Amri, baik dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan ataupun tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab pemerintah. Kita tidak boleh merasa kaku serta menganggap, bila dekat dengan penguasa akan menodai kehormatan diri dalam beragama. Bukan pula berarti menjadi penjilat dan kacung bagi para penguasa, bahkan syari’at memerintahkan kita untuk menjalin hubungan erat dengan para Ulil Amri atau penguasa.



Sesungguhnya, salah satu yang menjadi penyebbab keberhasilan shahwah (kebangkitan Islam) dan dakwah kepada Allah, yaitu apabila da’wah memiliki dukungan dari penguasa dalam suatu negara. Karena, da’wah dan kekuasaan merupakan dua pilar perbaikan terhadap umat. Penyair berkata:



الْمُــــلْكُ بِالدِّيْنِ يَبْقَى وَالدِّيْنُ بِالْمُلْكِ يَقْوَى



Kekuasaan yang bersanding dengan agama akan menjadi stabil, dan agama yang bersanding dengan kekuasaan akan menjadi kuat dan kokoh.


Bila keduanya bertemu dan bersatu, maka tujuan dan sasaran da’wah tercapai. Cita-cita membangun umat akan teralisasi dengan izin Allah. Namun, jika keduanya berpisah, apalagi saling berhadapan, maka segala usaha akan sia-sia atau melemah sampai pada batas kehinaan, sehingga muncul berbagai fitnah dan musibah bagi umat.


Setiap negara yang menginginkan kemuliaan hakiki dan kekuasaan di muka bumi, memiliki kewajiban untuk mendukung da’wah kepada Allah, mengerahkan segala perangkat kekuasaan dan pilar kekuatan negara yang mampu memberikan peringatan dan bimbingan secara persuasif kepada seluruh rakyat. Dengan demikian, penguasa akan mendapatkan legitimasi dan dukungan penuh dari semua pihak. Sebab, seringkali Allah menyadarkan lewat peguasa, apa yang tidak tergugah dengan Al Qur’an. Karena, bila keimanan telah melemah dalam hati manusia, maka kekuatan penguasa jauh lebih dapat menakut-nakuti mereka dari maksiat, dan lebih meluruskan mereka kepada ibadah, hingga mereka dapat meraih istiqamah dan keshalihan dalam hidup.



MENASIHATI PENGUASA BUKAN MEMBANGKANG

Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab, pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin, secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.



Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda,”Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat yang sepi. Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad].



Sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum ataupun media massa, baik elektronik maupun cetak. Yang demikian itu menimbulkan banyak fitnah. Bahkan terkadang disertai dengan hujatan dan cacian kepada orang per orang. Seharusnya, menasihati para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat rahasia, sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin Affan, bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar.

Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Usamah telah menasihati Utsman bin Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.


Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya.”

Imam Fudhail bin Iyadh berkata,”Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia; dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”

Syaikh bin Baz berkata,”Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara atau manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara) manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan nasihat tersebut.”



MEMBUAT KEKACAUAN BERKEDOK JIHAD DAN AMAR MA’RUF

Dakwah kepada agama Allah merupakan tugas utama para rasul dan imam agama. Dan pada zaman sekarang, hukumnya bisa wajib bagi setiap individu sesuai kemampuan masing-masing. Allah berfirman, yang artinya: Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. [An Nahl:125].



Adapun memecah-belah kaum muslimin menjadi berkelompok–kelompok, sehingga masing-masing mengklaim kelompoknyalah yang benar, sementara yang lain sesat -sebagaimana realita sekarang ini- jelas bukan merupakan manhaj dakwah yang benar. Setiap orang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang cukup, wajib berdakwah kepada agama Allah atas dasar ilmu, walaupun hanya seorang diri. Antara yang satu dengan yang lain, hendaklah berkerja sama berlandaskan manhaj yang satu, yaitu manhaj yang ditempuh Rasulullah dan para sahabat. 

Dakwah merupakan cara dan proses Islami dalam membimbing umat manusia menuju perubahan hidup yang hakiki, penuh dengan kesadaran serta merupakan bentuk sentuhan lembut yang mengetuk hati nurani, sehingga bangkit dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan, meninggalkan berbagai macam pelanggaran.

Anggapan, bahwa praktek-praktek agitasi, kampanye, pengungkapan aib penguasa dan pengerahan massa untuk menekan penguasa sebagai metode yang berhasil dan bermanfaat, adalah anggapan yang keliru, jauh dari kebenaran dan menyalahi nash-nash syar’i. Kalau kita tengok penjelasan para ulama, seperti yang tertuang dalam buku Asy Syari’ah karya Al Ajurri, As Siayasah Asy Syar’iyah Ibnu Taimiyah dan buku Ath Thuruqul Hukmiyah Fis Siyasah Asy Syar’iyah karya Ibnu Qayyim, maka cara-cara seperti di atas sangat keliru dan sesat.

Asumsi, bahwa cara-cara seperti ceramah-cermah yang transparan, membukakan kebobrokan penguasa kepada masyarakat luas dan memprovokasi mereka untuk melawan penguasa sebagai cara yang efisien dan berguna, merupakan asumsi yang salah dan sangat jauh dari kebenaran, serta bertentangan dengan nash agama. Bahkan, semacam merupakan bentuk justifikasi terhadap aqidah dan pemikiran Khawarij.

BEKAL BAGI ORANG YANG MENASIHATI PEMIMPIN

Bagi setiap individu yang ingin memberikan nasihat kepada pemimpin, maka ia harus memperhatikan hal-hal berikut: 



Pertama : Ikhlas dalam memberi nasihat.

Nabi Muhammad bersabda kepada Abdullah bin Amr: “Wahai, Abdullah bin Amr. Jika engkau berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang yang sabar dan ikhlas. Dan jika engkau berperang karena riya, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang riya dan orang yang ingin dipuji” . [HR Abu Dawud].



Imam Ibnu Nahhas berkata,”Orang yang menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya mendahulukan sikap ikhlas untuk mencari ridha Allah. Barangsiapa yang mendekati pemimpin untuk mencari popularitas atau jabatan atau sanjungan, maka ia telah berbuat kesalahan yang besar dan melakukan perbuatan sia-sia.”

Kedua : Menjahui segala macam ambisi pribadi.

Seseorang yang menasihati sebaiknya menanggalkan segala ambisi dan keinginan pribadi untuk mendapatkan sesuatu dari pemimpin atau penguasa. Para ulama salaf telah banyak memberikan contoh dan suri tauladan, seperti Sufyan Ats Atsauri. Beliau sering menolak pemberian para penguasa, karena khawatir pemberian tersebut menghalanginya untuk mengingkari kemungkaran.



Ketiga : Mendahulukan sikap kejujuran dan kebenaran. 

Seorang yang ingin menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya bersikap jujur dan pemberani; sebagaimana sabda Nabi,”Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zhalim.” [HR Abu Dawud]



Keempat : Berdo’a kepada Allah dengan do’a-do’a yang ma’tsur. 

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata,”Jika kamu mendatangi penguasa yang kejam, maka berdo’alah:



Allah Maha Besar, Allah Maha Tinggi, dari semua makhlukNya, Allah Maha Tinggi dari semua yang saya takutkan dan khawatirkan. Saya berlindung kepada Allah yang tiada Sesembahan yang haq selainNya, Dialah yang menahan langit yang tujuh sehingga tidak jatuh ke bumi dengan izinNya, (dari) kejahatan hambaMu dan para pengikutnya, bala tentaranya dan para pendukungnya, baik dari jin atau manusia. Ya Allah, jadilah Engkau pendampingku dari kejahatan mereka, Maha Tinggi kekuasaan Allah dan Maha Agung serta Maha Berkah NamaNya, tiada Sesembahan yang berhaq disembah selain Engkau.” (Dibaca tiga kali). [HR Ibnu Abu Syaibah].



MENYEBUT PENGUASA DENGAN VONIS KAFIR

Pada masa sekarang timbul berbagai macam penyimpangan manhaj dan fitnah pemikiran, terutama dalam soal sikap kepada para penguasa yang zhalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Sebagian orang yang gila popularitas dan ambisius, dengan gampang menebarkan pemikiran takfir (mengkafirkan) kepada para penguasa, para pemuda dan orang awam; dan dengan mengesampingkan manhaj Ahli Sunnah serta fatwa para ulama. Mereka kurang menyadari dampak dan akibat dari langkah yang mereka tempuh, sehingga keinginan mengajak umat manusia kepada kebaikan berbalik menjadi musibah dan fitnah yang mendatangkan banyak keburukan dan kesesatan. Mereka bersikap kerdil, picik, pengecut, emosional, keras kepala dan tidak kenal kompromi, kurang mempertimbangkan antara maslahat dan madharat.



Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dalam kitab Muntaqa berkata,”Masalah pengkafiran terhadap orang per orang, terutama kepada para penguasa sangat berbahaya. Tidak semua orang boleh mengucapkan atas orang lain. Masalah ini merupakan wewenang hakim syar’i dan ahli ilmu yang mumpuni, yang mengetahui Dinul Islam dan pembatal-pembatalnya mengetahui situasi dan kondisi, serta keadaan manusia dan masyarakat. Merekalah yang berhak menjatuhkan vonis kafir. Adapun orang jahil, orang awam, pemula dalam menuntut ilmu, tidaklah berhak menjatuhkan vonis kafir.”

Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan menegaskan, bahwa masalah pengkafiran terhadap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, membutuhkan penjelasan secara rinci. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak, sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.

Perlu diketahui, bahwa berhukum dengan hukum selain hukum Allah ada dua sebab. Pertama. Menghalalkan hukum selain Allah dan meyakini, bahwa syari’at Islam tidak layak diterapkan selamanya. Kedua. Meyakini, bahwa syari’at Islam layak diterapkan dan sudah sempurna, namun keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan pula di bawah kuasa seseorang.

Mengenai firman Allah “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [Al Maidah: 44].

Apakah dalam ayat di atas terdapat perintah untuk membangkang dan memberontak penguasa? Karena memberontak dan membangkang kepada penguasa yang divonis kafir -bila tidak memiliki kekuatan yang berimbang- justru akan membahayakan kelangsungan dakwah dan keselamatan para da’i.



BERSABAR TERHADAP PEMIMPIN YANG ZHALIM

Pemimpin yang zhalim dan jahat, adalah sosok pemimpin yang hanya berambisi terhadap kekuasaan belaka. Perbuatan mereka tidak pernah sepi dari penganiayaan dan kezhaliman, dan tidak segan-segan melibas siapapun yang mencoba menggoyang kekuasaannya, meskipun dia melanggar syari’at. Dia juga tidak adil dalam memberikan hak-hak umat serta boros terhadap harta negara. 



Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rusaknya para pemimpin.

1. Lemahnya pengamalan prinsip agama.
2. Senang mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia belaka.
3. Sikap kolusi dan nepotisme yang berlebihan.
4. Teman dan penasihat (orang kepercayaannya) yang tidak baik, atau menjadikan orang-orang kafir sebagai pembantu (kepercayaannya).
5. Menyerahkan kekuasaan dan jabatan kepada orang-orang yang tidak berjiwa patriot dan ikhlas.
6. Diktator dalam mengendalikan kekuasaan.
7. Tekanan internasional terhadap para pemimpin Islam.
8. Terpengaruh dengan sisitim negara-negara kafir dan meninggalkan sistim Islam.



Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menasihati pemimpin yang zhalim, maka sebaiknya berdiam diri dan bersabar, sebagaimana sabda Rasulullah,”Barangsiapa yang mendapatkan dari pemimpin(nya) sesuatu yang tidak menyenangkan, maka hendaklah bersabar. (Karena) sesungguhnya, barangsiapa yang keluar dari pemimpin, maka meninggal dalam keadaan jahiliyah.” [HR Al Bukhari].

Abdullah Ibnu Abbas berkata,”Pemimpin adalah ujian bagi kalian. Apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu harus bersyukur. Dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu harus bersabar.”

Imam Nawawi berkata,”Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”



BATASAN HUBUNGAN ANTARA PEMIMPIN DENGAN RAKYAT

Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan kepada Majalah Syarq Al Ausath seputar manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar, metodologi menyampaikan nasihat, serta batasan-batasan hubungan secara syar’i antara penguasa dengan rakyat. Ulasan dan penjelasan beliau dapat disimpulkan sebagai berikut.



1. Beliau menjelaskan batasan-batasan hubungan antara penguasa dengan rakyat menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib ditempuh seluruh umat sekarang ini.

2. Beliau juga mengajak kaum muslimin mengikuti manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan tidak mencontoh faham Khawarij maupun Mu’tazilah. Beliau berkata,”Mereka semestinya mengikuti madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sesuai dengan dalil-dalil syar’i yang ada. Mereka semestinya memegang teguh nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana adanya. Mereka tidak diperkenankan memberontak kepada penguasa, hanya karena penguasa itu jatuh dalam perbuatan maksiat. Mereka semestinya menasihati penguasa dan berdakwah dengan cara yang penuh hikmah, serta dengan pengajaran yang baik.

3. Beliau menjelaskan, bahwa kaum muslimin wajib mentaati waliyul amri dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih baik akibatnya. [An Nisa’:59].

4. Jika penguasa memerintahkan kepada perkara yang munkar, maka tidak wajib dipatuhi, namun tidak berarti dibolehkan memberontak mereka, sebab Rasulullah bersada: 

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.

Barangsiapa melihat sebuah perkara yang membuat ia benci pada pemimpinya, maka hendaknya ia bersabar dan janganlah ia membangkang kepada pemimpinnya. Sebab, barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah, lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah. [HR Bukhari dan Muslim]

Sabda beliau:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ


Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara) ketika lapang maupun sempit pada perkara yang disukainya ataupun yang dibencinya, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat. [HR Bukhari dan Muslim].

5. Tidak boleh memberontak kepada penguasa kecuali dengan dua syarat. Pertama, telah tampak kekafiran secara nyata pada penguasa itu, dan memiliki keterangan yang jelas (tentang kekafirannya itu) dari Allah (Al Qur’an) dan As Sunnah. Kedua, memiliki kemampuan untuk menggantikan penguasa tersebut, tanpa harus merugikan rakyat banyak.

6. Jika tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak, meskipun telah terlihat kekafiran yang nyata. Hal ini demi menjaga kemaslahat bersama.

7. Kaidah syar’i yang harus disepakati bersama, bahwa tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih buruk dari sebelumnya, namun mestinya perkara yang benar menghilangkan kejahatan itu atau menguranginya.

8. Tidak boleh memberontak penguasa jika akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, stabilitas keamanan terguncang, kesewenang-wenangan terhadap hak-hak asasi manusia dan pembunuhan orang-orang yang semestinya tidak boleh dibunuh. 

9. Wajib bersabar, patuh dan taat dalam perkara yang ma’ruf, serta memberi nasihat kepada pemerintah, mendo’akan kebaikan bagi mereka, berusaha sekuat tenaga meminimalkan kejahatan dan menyebarkan sebanyak-banyaknya nilai-nilai kebaikan.

10. Barangsiapa beranggapan bahwa pemikiran semacam ini merupakan kekalahan dan kelemahan, maka sesungguhnya angapan seperti itu menunjukkan kekeliruan dan kedangkalan pemahamannya. Artinya, mereka tidak memahami dan tidak mengenal Sunnah Nabi sebagaimana mestinya. Dalam menghilangkan kemungkaran, mereka hanya dibakar oleh semangat dan emosi untuk menghilangkannya saja, sehingga (kemudian) mereka melanggar rambu-rambu syari’at, sebagaimana Khawarij dan Mu’tazilah.

11. Siapapun orangnya, baik pemuda atau bukan, tidaklah layak mencontoh Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka harus meniti madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

12. Bagi yang memiliki semangat membela agama Allah dan para da’i, wajib untuk mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Wajib memberi nasihat kepada para penguasa dengan perkataan yang bagus dan dengan cara yang baik.

13. Tidak dibolehkan membunuh kafir musta’min (orang kafir yang mendapat perlindungan pemerintah Islam) yang diterima oleh pemerintah yang berdaulat secara damai. Tidak boleh pula menghukum pelaku maksiat dan berbuat aniaya terhadap mereka. Namun kejahatan mereka diangkat ke mahkamah syari’at. Jika tidak ada, maka cukup dengan nasihat saja.

14. Wajib hukumnya mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syari’at, seperti: peraturan lalu-lintas dan imigrasi (seperti kewajiban SIM pengendara dan paspor). Barangsiapa mengangggap dirinya memiliki hak untuk melanggarnya, maka perbuatannya itu bathil dan mungkar.

15. Diantara konsekuensi bai’at, yaitu menasihati waliyul amri (penguasa). Dan diantara wujud nasihat, yaitu mendo’akan kepada penguasa supaya mendapatkan taufiq dan hidayah.

16. Setiap individu rakyat wajib bekerja sama dengan pemerintah dalam mengadakan perbaikan dan menumpas kejahatan.

17. Maksud didirikan pemerintah, ialah untuk merealisasikan maslahat syar’i dan mencegah mafsadat. Maka setiap tindakan yang diinginkan darinya adalah kebaikan. Adapun yang dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka hal itu dilarang.

18. Mendo’akan kebaikan bagi penguasa merupakan ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling utama. Al Fudhail bin Iyadh berkata,”Bila aku punya do’a yang terkabulkan, maka aku akan memanjatkan untuk penguasa. Karena baiknya mereka akan menentukan kebaikan orang banyak.” 

Maraji:

- Al Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Abu Hasan Al Mawardi.
- As Siyasah Asy Syar’iyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Ath Thuruqul Hukmiyah Fi Siyasah Asy Syar’iyah, karya Ibnu Qayyim.
- Ash Shahwah Islamiyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
- Al Muntaqa Fi Fatawa, Syaikh Fauzan.
- Hakiqatul Amr Bil Ma’ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nasir Al Ammar.
- Muraja’at Fi Fiqhil Waqi Asy Syiyasi Wal Fikri, Syaikh Bin Baz, Syaikh Fauzan dan Syaikh Shalih Sadlan.



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Minggu, 24 April 2011

Tata Cara Mandi Janabah

Mandi Janabah atau mandi wajib yang sesuai dengan sunnah, sangat penting diketahui setiap muslim. Karena apabila mandi janabahnya belum sah sesuai dengan syariat, bgaimana mungkin sholat dan ibadah kita yang kain bisa diterima, sedangkan hadats besar masih bersarang di tubuh kita. 

Adapun sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna :

Yang menjadi pokok pendalilan sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna ada dua hadits, yaitu hadits Aisyah dan hadits Maimunah radhiyallahu 'anhuma.
Satu : Sifat mandi junub dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha.

Lafazh hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha adalah sebagai berikut :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ -وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ ثُمَّ يَفْرُغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْئَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُخَلِّلًُ بِيَدَيْهِ شَعْرَهُ حَتَى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

"Bahwasanya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam kalau mandi dari janabah maka beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya –dalam riwayat Muslim, kemudian beliau menuangkan (air) dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu beliau mencuci kemaluannya- kemudian berwudhu sebagaimana wudhunya untuk sholat kemudian memasukkan jari-jarinya kedalam air kemudian menyela dasar-dasar rambutnya sampai beliau menyangka sampainya air kedasar rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan kedua tangannya sebanyak tiga kali kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya. (HR. Bukhary-Muslim).


Dalam hadits diatas tidak disebutkan pensyaratan niat, namun itu tidaklah berarti gugurnya pensyaratan niat tersebut karena telah dimaklumi dari dalil-dalil lain menunjukkan disyaratkannya niat itu dan telah kami sebutkan sebagaian darinya dalam pembahasan diatas.


Maka dari hadits 'Aisyah diatas dapat disimpulkan sifat mandi junub sebagai berikut :


1. Mencuci kedua telapak tangan.


Dan ada keterangan dalam saah satu riwayat Muslim dalam hadits 'Aisyah ini bahwa telapak tangan dicuci sebelum dimasukkan ke dalam bejana.


2. Menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya.


3. Kemudian berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat.


4. Kemudian memasukkan kedua tangan kedalam bejana, kemudian menciduk air dari satu cidukan dengan kedua tangan tadi, kemudian menuangkan air tadi diatas kepala. Kemudian memasukkan jari-jari diantara bagian-bagian rambut dan menyela-nyelainya sampai ke dasar rambut di kepala.
5. Kemudian menyiram kepala tiga kali dengan tiga kali cidukan.

Dan diterangkankan dalam hadits 'Aisyah riwayat Muslim :


كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلاَبِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ.


"Adalah Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bila mandi dari junub, maka beliau meminta sesuatu (air) seperti Hilab (semacam kantong yang dipakai untuk menyimpan air susu yang diperah dari binatang), kemudian beliau mengambil air dengan telapak tangannya maka beliau memulai dengan bagian kepalanya sebelah kanan kemudian yang kiri, kemudian beliau (menuangkan air) dengan kedua tangannya diatas kepalanya".


6. Kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.


Beberapa Catatan
µ Hendaknya memulai dengan anggota-anggota badan bagian kanan

Dalil-dalilnya :


1. Hadits 'Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :


كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ


"Adalah Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam menyenangi yang kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya".


2. Hadits 'Aisyah juga yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary :


كَناَ إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةُ أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهِ ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدَيْهَا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ وَبِيَدِهَا الْأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الْأَيْسَرِ


"Kami (istri-istri Nabi-Pent) jika salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil dengan kedua tangannya tiga kali diatas kepalanya kemudian mengambil dengan salah satu tangannya diatas bagian kepalanya yang kanan dan tangannya yang lainnya diatas bagian kepalanya yang kiri."


(Lihat: Al-Mughny: 1/287, Al-Majmu': 2/209, At-Tamhid: 2/275,dan lain-lainnya)


µ Dalam riwayat Muslim ada tambahan dalam hadits 'Aisyah dengan lafazh :


فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا


"Maka beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali".


Tambahan "tiga kali" dalam hadits diatas dikritik oleh Imam Abul Fadhl Ibnu 'Ammar sehingga beliau menganggap bahwa tambahan tersebut ghairu mahfuzh (tidak terjaga) atau dengan kata lain sebagai tambahan yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Dan kritikan tersebut dikuatkan pula oleh Ibnu Rajab rahimahullah.


Lihat : 'Ilalul Ahadits Fii Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal. 69-72 karya Abul Fadhl Ibnu 'Ammar dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah Shohih Al-Bukhary 1/234 karya Ibnu Rajab (cet. Dar Ibnul Jauzy)


µ Ada tambahan lain dalam hadits 'Aisyah juga riwayat Muslim, lafazhnya sebagai berikut :


ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ


"Kemudian beliau mencuci kedua kakinya".


Tambahan diatas juga dilemahkan oleh Abul Fadhl Ibnu 'Ammar dengan alasan bahwa Abu Mu'awiyah bersendirian dalam meriwayatkannya dari Hisyam. Sedangkan sedangkan murid-murid hisyam lainnya tidak yang meriwayatkannya, seperti Za`idah, Hammad bin zaid, Jarir, Waki', 'Ali bin Mushir dan lain-lainnya. Dan Imam Muslim sendiri telah memberikan isyarat bahwa tammbahan itu adalah lemah.


Lihat : 'Ilalul Ahadits Fii Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal. 69-72 dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah Shohih Al-Bukhary 1/233-234 bersama ta'liq Thoriq bin 'Iwadhullah.


Kesimpulan Cara Mandi Dalam Hadits 'Aisyah


Mencuci kedua telapak tangan sebelum dimasukkan ke dalam bejana, kemudian menuangkan air dengan tangan kanan keatas tangan kiri lalu mencuci kemaluan, lalu berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat, kemudian memasukkan kedua tangan kedalam bejana, lalu menciduk air dari satu cidukan lalu menuangkan air tadi diatas kepala dan menyela-nyelai rambut sampai ke dasar kepala, kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.
Dua : Sifat mandi junub dalam hadits Maimunah radhiyallahu 'anha.

Adapun cara yang kedua :


Lafazh hadits Maimunah bintul Harits radhiyallahu 'anha adalah sebagai berikut :


وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَضُوْءَ الْجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى يَسَارِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالأَرْضِ أَوِ الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهُ الْمَاءَ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ.


"Saya meletakkan untuk Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam air mandi janabah maka beliau menuangkan dengan tangan kanannya diatas tangan kirinya dua kali atau tiga kali kemudian mencuci kemaluannya kemudian menggosokkan tangannya di tanah atau tembok dua kali atau tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air) kemudian mencuci mukanya dan kedua tangannya sampai siku kemudian menyiram kepalanya kemudian menyiram seluruh tubuhnya kemudian mengambil posisi/tempat, bergeser lalu mencuci kedua kakinya kemudian saya memberikan padanya kain (semacam handuk-pent.) tetapi beliau tidak menginginkannya lalu beliau menyeka air dengan kedua tangannya. (HR. Bukhary-Muslim).


Dalam sifat mandi junub riwayat Maimunah diatas berbeda dengan sifat mandi junub dalan hadits 'Aisyah pada beberapa perkara :


µ Dalam hadits Maimunah ada tambahan menggosokkan tangan ke tanah atau tembok.


µ Dalam hadits Maimunah tidak ada penyebutan menyela-nyelai rambut.


µ Dalam salah satu riwayat Bukhary-Muslim pada hadits Maimunah ada penyebutan bahwa kepala disiram tiga kali, namun tidak diterangkan cara menuangkan air diatas kepala sebagaimana dalam hadits 'Aisyah.


µ Juga riwayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada pengusapan kepala dalam hadits Maimunah. Yang ada hanyalah menyiram kepala tiga kali.


µ Dalam hadits Maimunah mencucikan kaki dijadikan pada akhir mandi sedangkan dalam hadits 'Aisyah mencuci kaki ikut bersama dengan wadhu.


Catatan Penting


Syeikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa memang ada beberapa perbedaan antara hadits 'Aisyah dan hadits Maimunah dan itu banyak terjadi dalam beberapa 'ibadah yang dikerjakan oleh Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Yaitu beliau kerjakan 'ibadah tersebut dengan bentuk yang berbeda-beda untuk menunjukkan kepada umat bahwa ada keluasan dalam bentuk-bentuk 'ibadah tersebut. Sepanjang ada tuntunan dalam Syari'at yang menjelaskan bentuk-bentuk 'ibadah tersebut maka boleh dikerjakan seluruhnya atau dikerjakan secara silih berganti. Demikian makna penuturan Syeikh Ibnu 'Utsaimin dalam kitab beliau Tanbihil Afham bisyarhi 'Umdatil 'Ahkam 1/83.